novel Catatan Hati Seorang Isteri

Catatan Hati Seorang Isteri

Saya dan suami sama-sama tidak pernah menyinggung masalah ini lagi. Secara bertahap saya dorong suami untuk mengurangi kontak dengan Dian, hingga gadis itu kuat untuk melanjutkan hidup sendiri. Alhamdulillah, sepertinya pihak keluarganya berusaha keras untuk itu, hingga akhirnya Dian hilang dari kehidupan kami.

Tulus, meski gadis itu telah menorehkan luka, saya memaafkan dan mendoakan agar Allah memberinya pengganti yang lebih baik. Bagi saya dia tak ubahnya adik kecil yang ketika itu bingung dan kehilangan pegangan.

Mengingat jeda usia, saya beranggapan suamilah yang memegang porsi kesalahan terbesar.

Sanak saudara yang tahu peristiwa ini sering bertanya, bagaimana saya bisa melaluinya? Bagaimana saya bisa memaafkan Arief dan melanjutkan kehidupan kami seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Saya tidak tahu darimana kekuatan dan ketenangan itu datang. Yang saya tahu Allah Maha Penerima Taubat. Jika Allah memaafkan, kenapa saya tidak? Meski memaafkan juga tidak berarti melupakan.
Saya hanya tidak ingin kehilangan syukur ke pada-Nya.
Sebab di luar kesalahan-kesalahan suami yang manusiawi, saya telah mengecap begitu banyak bilangan hari dalam kebahagiaan. Jejak kebaikan Arif bagi saya dan anak-anak telah amat panjang jika disebutkan satu persatu.Dan kebaikan seseorang tidak boleh hilang dari ingatan, hanya karena sebuah atau dua, atau tiga kekhilafan…

(Berdasarkan kisah Amini)
Terbang Dengan Satu Sayap
Seorang teman online meminta saya menuliskan kisahnya.

Semoga Allah menguatkannya.

Sebuah email kaleng

Suara ketukan di pintu makin keras terdengar. Aku diam.
“Tania… Tania… please open the door!” Aku tetap tidak bereaksi.
Bukan maksudku membuat teman-teman baruku kebingungan. Tapi bagaimana aku sanggup membuka pintu?

Bagaimana bisa membiarkan orang asing melihat kekacauanku?

“Tania, please.” suara itu terdengar lagi.

Aku hanya diam. Membiarkan air mata terus menitik.

Tidak berapa lama, suara langkah kaki terdengar menjauhi pintu.

Tuhan
Air mataku menderas lagi.
Satu email dan hidupku kontan terjungkal kembali, setelah luka bertahun silam yang coba kuobati… time will heal, begitu kata orang. Benarkah? Apakah waktu juga akan mengobati lagi, jika luka kali ini benar dan bukan hanya kabar burung?
Mencari Jawaban

Tapi kenapa sekarang?

Kenapa terjadi saat aku berada ribuan mil dari tanah air, jauh dari orang-orang yang bisa mengu-atkanku, kenapa?
Tapi kupikir takdir barangkali tidak memilih tempat, apalagi waktu.

Sebuah email.
Awalnya kupikir hanyalah surat kaleng biasa yang dikirimkan orang tidak bertanggung jawab.
Saya minta maaf harus menyampaikan ini,
Saya harap kamu kuat.
Suamimu menjalin kasih di sini.
Meski tidak terpancing, aku membaca email tersebut hingga tuntas.
Mereka berdua sudah kemana-mana.
Bahkan mungkin sudah melakukan hal yang terlarang itu,
Berzina atau telah menikah siri,

Hanya itu kemungkinannya…
Ketenanganku belum terbang. Hingga di akhir email aku melihat satu attachment. Foto, sepertinya diambil lewat handphone melihat kualitas gambar. Meski begitu aku bisa melihat jelas sosok perempuan, teman keluarga kami yang tidak asing itu, berada dalam pelukan seorang lelaki berbadan kurus dengan kumis tipis berbaris di atas bibir.

Lelaki itu, suamiku! Badanku bergetar hebat.
Kepalaku mendadak pening.
Tapi masih kucoba berpikir jernih.
Barangkali ini hanya rekayasa, bukankah dunia digital rentan dimanipulasi? Barangkali ada orang-orang yang tidak senang.

Mungkin hanya peluk biasa, meski setahuku suami tidak biasa menyentuh perempuan yang bukan mahramnya.

Tapi, suamiku bukan selebritis… begitupun perempuan bertubuh sintal di dalam foto itu. Kenapa orang merasa perlu merekayasa gambar keduanya?

Mungkin memang ada yang berniat mengacak-acak perkawinanku.
Untuk sementara kutahan air mata yang tiba-tiba tak sabar hendak menerobos.
Tapi tidak bisa kutahan perasaan yang tiba-tiba tidak enak. Aku terprovokasi atau ini feeling seorang istri?

Entahlah. Tapi kuputuskan mencari jawaban.
Tentu saja banyak keterbatasan. Paling mungkin menelepon dan menanyai keluargaku di tanah air. Tapi apa yang menjadi landasanku?
Insting? email kaleng dan foto ini?

Aku berpikir cepat.
Kubuka halaman mozilla, kuketikkan account suamiku di yahoo, kebetulan aku memang hapal pa sswordnya, karena dulu suami sendiri yang memintaku untuk dibuatkan email address. Untuk hal-hal begini bisa dibilang suami tidak begitu mengikuti.
Berhasil.

Waktu terasa begitu lama ketika aku menyusuri satu persatu email di inbox suami. Sejujurnya aku tidak merasa nyaman melakukan ini. Tapi adakah pilihan lain?
Dan debar di jantungku bertambah keras ketika menemukan sebuah email. Hanya satu email dari perempuan itu. Isinya biasa saja, kecuali panggilan mesra yang ditujukan perempuan itu untuk suamiku.
Perasaanku makin tidak enak. Dan tangis yang dari tadi kutahan akhirnya menetes satu-satu, seiring butiran salju yang melayang turun dari balik jendela kamar.

Ah, apa yang bisa kuperbuat dalam jarak yang terentang begitu jauh. Bagaimana aku bisa mencari ketenangan dengan menanyakan langsung persoalan ini sambil menatap bulatan hitam di mata suami, seperti yang sebelumnya kulakukan?

Bagaimana aku bisa bertanya tanpa ragu dibohongi?

Di sisi yang lain, aku juga mencoba menjaga kepala agar tetap dingin, sambil berpikir sudah cukupkah alasan bagiku untuk merasa dikhianati?

Sejujurnya sulit menenangkan diri. Apalagi mengingat aku akan berada jauh dari rumah selama setahun untuk tugas belajar.

Tiba-tiba aku ingat kalimat adik perempuanku, yang kerap diulang-ulangnya sebelum keberangkatanku,

“Perhatiin suami, kak… jaga baik-baik!”
Mungkinkah adikku mengetahui sesuatu? Kalimat seperti itu tidak pernah muncul sebelumnya selama pernikahanku bertahun-tahun.

Seperti kanak-kanak yang berusaha menjawab teka-teki, inilah aku. Beberapa waktu aku hanya terdiam, sambil berdiri di jendela, memandangi salju yang menutupi jalan jalan. Udara terasa dingin, tapi hatiku seperti dipenuhi bara api.
Teka-teki terkuak
Berjam-jam aku masih tepekur dan berpikir keras. Tetapi hatiku terlanjur hampa. Belakangan kuraih telepon genggam, Adikku tampak kaget mendengar pertanyaanku yang bertubi-tubi. Tidak berapa lama, bukannya menjawab dia malah menangis, “Ade nggak ingin kakak tahu, tidak sekarang ini… ” ujarnya disela sedu sedan.

Perasaanku makin tidak karuan. “Keluarga perempuan itu datang ke rumah ade malam-malam, Kak… menceritakan semuanya. Hubungan sudah terlalu jauh. Mereka sempat bertemu di Solo dan beberapa kota lain secara diam-diam.” Tangis adikku makin keras, “Kakak jangan hancur ya? Nggak boleh hancur. Jangan sampai tugas-tugas berantakan.”

Dadaku sesak. Kepalaku pusing. Kutanyakan lagi siapa saja yang sudah mengetahui hal ini. Akibatnya tangis adikku makin keras,

“Tidak ada yang tahu kecuali Ibu. Sebab Ibu menginap di rumah ade ketika keluarga besar mereka datang. Kabarnya mereka malah mau menuntut Mas ke polisi karena melarikan anak orang.Sekarang nggak jelas anak gadisnya di mana.”
Ahhh.

Kutarik napas panjang usai menelepon. Anehnya air mataku justru tidak keluar sama sekali. Mungkin hatiku terlalu hempas, kecewa, tidak menyangka Mas akan mengkhianati aku seperti ini.